Senin, 31 Juli 2017

Upaya Penguatan Pendidikan Karakter Siswa Melalui Kultur/Budaya Sekolah


Pada awal tahun pelajaran 2017/2018 ini,  program penguatan pendidikan karakter benar-benar diupayakan untuk bisa dilaksanakan di sekolah. Salah satu upaya pemerintah supaya gaung dari penguatan pendidikan karakter ini benar-benar terasa adalah menciptakan sebuah lagu MARS PPK (Penguatan Pendidikan Karakter) yang disarankan dinyanyikan pada setiap akhir jam pembelajaran di kelas. Sejak tahun lalu,  di sekolah memang ada pembiasaan untuk menyanyikan lagu Indonesia di awal pelajaran dan menyanyikan lagu nasional atau daerah pada akhir jam pelajaran.  Tahun ini diperkenalkan lagu MARS PPK yang bisa dinyanyikan di akhir pembelajaran.

Lirik lagu MARS PPK seperti dituliskan di bawah ini.

MARS PPK
Siswa Berkarakter Indonesia

Gerakan nasional revolusi mental
Membangun karakter generasi gemilang
Menuju kebangkitan generasi emas
Bagi manusia Indonesia

Melalui pendidikan nasional
Tumbuh kembangkan Moral Etika Bangsa
Berbudi Pekerti akhlak yang mulia
Siswa berkarakter Indonesia

Religius hidupnya nasionalis jiwanya
Integritas jadi tujuannya
Mandiri hidupnya gotong royong s’mangatnya
Persatukan bangsa Indonesia

Melalui pendidikan nasional
Tumbuh kembangkan Moral Etika BangsBangsa
Berbudi Pekerti akhlak yang mulia
Siswa berkarakter Indonesia

Religius hidupnya nasionalis jiwanya
Integritas jadi tujuannya
Mandiri hidupnya gotong royong s’mangatnya
Persatukan bangsa Indonesia

Siswa berkarakter Indonesia
Siswa berkarakter Indonesia
*****

Melalui lagu tersebut diharapkan penguatan pendidikan karakter di lingkup sekolah bisa menjadi fokus dalam setiap kegiatan sekolah.  Tentu bukan hanya dinyanyikan semata,  tapi diwujudkan dalam setiap kegiatan yang mengarah ke pendidikan karakter siswa. Walau sejatinya ketika siswa berinteraksi dalam masyarakat yang sesungguhnya,  sangat mungkin banyak contoh yang justru berkebalikan dengan penguatan pendidikan karakter di sekolah.  Misalnya saja,  dalam lingkup birokrat, masih banyak terjadi adanya pejabat yang menyalahgunakan jabatan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sebenarnya ini adalah contoh yang kontradiktif dengan arah pendidikan nasional dan itu sangat tidak relevan dengan pendidikan karakter yang ditekankan dalam lingkup pendidikan di sekolah.  Namun hendaknya ini tidak menyurutkan langkah bapak ibu guru untuk terus mengajarkan karakter-karakter yang baik di kalangan siswa. Tentu perlu usaha yang sangat keras bapak ibu guru dalam hal ini.

Pembiasaan yang baik ini tentunya dalam pelaksanaannya membutuhkan kepedulian para guru mengupayakan supaya senantiasa penguatan karakter siswa ini bisa dilaksanakan. Semua guru tanpa kecuali harus menunjukkan kepedulian yang besar dalam hal ini,  tidak hanya sebatas guru matpel agama maupun PPKN saja.

Nilai-nilai utama PPK ada 5 yaitu religius,  nasionalis,  mandiri,  gotong royong,  dan integritas. Lebih lanjut nilai-nilai PPK dijabarkan menjadi lebih rinci yaitu religius,  jujur,  toleransi,  disiplin,  kerja keras,  kreatif,  mandiri,  demokratis,  rasa ingin tahu,  semangat kebangsaan,  cinta tanah air,  menghargai prestasi,  bersahabat, /komunikatif, cinta danmai,  gemar membaca,  peduli lingkungan,  peduli sosial, tanggungjawab dan lain -lain.
Sejatinya berbagai nilai yang diharapkan ditumbuhkan pada diri siswa tersebut selaras dengan filosofi pendidikan karakter yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara di zaman dulu. Karakter tersebut berupa sinergi antara olah hati, olah raga,  olah rasa,  dan olah karsa.

PPK lahir karena kesadaran akan tantangan ke depan yang semakin kompleks dan tidak pasti,  namun sekaligus melihat ada banyak harapan bagi masa depan bangsa. Hal ini menuntut lembaga pendidikan untuk mempersiapkan peserta didik secara keilmuan dan kepribadian,  berupa individu-individu yang kokoh dalam nilai-nilai moral , spiritual dan keilmuan.

Ditulis oleh Fithriyah, M.Pd.
Guru di SMAN 1 Plemahan Kediri.


Sabtu, 29 Juli 2017

Menyoal Karakter Pendidik



“Jika pembangunan karakter bangsa tidak berhasil,  maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli” (Ir.  Soekarno).

Stigma negatif yang ditujukan pada guru akhir-akhir ini makin sering terjadi. Guru yang konon katanya adalah sosok yang “digugu dan ditiru” seakan hanya sebatas slogan yang sulit ditemui. Perselingkuhan, perceraian, plagiasi, suap-menyuap, jual beli kunci jawaban serta kekerasan pada siswa adalah beberapa kasus yang sering melibatkan pendidik di negeri ini. Perselingkuhan oknum guru dengan istri anggota Polri di Bone November 2016 lalu sangatlah memprihatinkan. Peristiwa tersebut berujung pada kasus pembakaran rumah oknum guru yang berselingkuh (TribunTimur.com). Sementara di tempat lain, perselingkuhan dua guru di sebuah hotel di Kebumen, pada akhirnya ditindak tegas oleh ketua PGRI Kabupaten Kebumen yaitu dicopot dari jabatan guru (www.kebumenekspres.com).

Kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru juga banyak terjadi di berbagai tempat. Salah satu contohnya adalah kasus guru melempar pulpen dan kemudian mengenai mata siswa SMPN 3 Palangga , Sulsel November 2016.  Contoh lain adalah kasus guru mencubit siswa, lalu orangtua tak terima dan kemudian melapor ke kepolisian hingga berlanjut ke meja hijau.  Bahkan peristiwa yang baru saja terjadi,  seorang guru olahraga di SDN Soetomo I Surabaya memukul kepala siswinya hingga berdarah (jpnn.com, 9 Februari 2017). Belum lagi berbagai kasus plagiasi di kalangan guru yang beberapa waktu lalu sempat menghiasi pemberitaan di berbagai surat kabar.

Miris!  Itulah yang terlintas dalam pikiran saat membaca berbagai pemberitaan yang mencoreng muka para pendidik. Inikah sosok guru yang akan mengemban amanah untuk membentuk karakter peserta didik? Bagaimana mungkin seorang guru yang memiliki perilaku buruk bisa menumbuhkan karakter yang baik pada diri siswa?
Perselingkuhan yang terjadi dikalangan pendidik banyak yang berujung pada perceraian.  Plagiasi juga semakin marak ditemui,  terutama menjelang pengurusan kenaikan pangkat. Suap menyuap dan jual beli kunci jawaban biasa muncul saat mendekati ujian nasional seperti saat ini.  Berbagai kasus yang disebut tentu menambah suramnya wajah pendidikan dewasa ini.  Wajah suram pendidikan ini justru dilakukan oleh pelaku utama dalam pendidikan yaitu guru.

Pendidikan karakter yang beberapa waktu lalu marak dibicarakan, tentu tidaklah bisa dilepaskan dari peran guru sebagai garda terdepan pendidikan anak. Pemerintah telah menekankan pentingnya pendidikan karakter melalui berbagai program, termasuk memasukkan unsur pendidikan karakter dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) 2010-2025 (Indradi, 2014). Namun tentunya upaya pemerintah tersebut haruslah didukung penuh oleh pendidik yang juga berkarakter kuat.  Berbicara tentang pendidikan karakter tidak bisa dilepaskan dengan “pendidik berkarakter”.

Pemberian materi tentang pendidikan karakter yang diberikan di sekolah tidak akan langsung membuat siswa berperilaku seperti yang diharapkan.  Mereka juga perlu teladan dari bapak ibu guru.  Peserta didik akan lebih mudah menerima dan mengingat sesuatu yang dilihat dari gurunya daripada sesuatu yang didengar.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekankan perlunya pendidikan karakter. Namun upaya pemerintah tersebut tak kan berhasil apabila tidak didukung pendidik yang berkarakter.  Guru sejati seharusnya adalah guru yang berkarakter, bisa menjadi contoh yang baik bagi anak didiknya. Apa yang diucapkan seorang guru haruslah sesuatu yang benar.  Perilaku guru,  baik di sekolah maupun di luar sekolah,  haruslah bisa menjadi teladan bagi peserta didiknya.

Guna menjadi seorang pendidik yang berkarakter,  seorang guru haruslah menjadi guru yang sejati, guru yang mengajar dengan hati.  Guru yang berkarakter setidaknya memiliki ciri-ciri seperti yang dijelaskan berikut ini.

Pertama, guru harus senantiasa belajar,  artinya seorang guru sudah semestinya selalu memperluas wawasannya dengan meng-update dan meng-up grade diri. Hal ini perlu sehingga sesuatu yang disampaikan guru pada muridnya selalu mengikuti perkembangan.  Apalagi saat ini di sekolah juga telah digalakkan program Gerakan Literasi sekolah. Tentu saja,  Gerakan Literasi Sekolah itu tidak hanya ditujukan untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan pentingnya ilmu dan wawasan serta pengetahuan siswa,  tetapi juga guru.

Kedua,  guru haruslah orang yang selalu terbuka untuk menerima sesuatu yang baru.  Perubahan aturan kurikulum, aturan sistem administrasi , termasuk aturan ujian nasional membuat guru harus mengikutinya.  Perubahan itu tidak untuk diributkan atau diperdebatkan,  tetapi harus segera dipelajari dan diterapkan.
Berikutnya, guru harus telaten,  artinya guru harus memiliki kesabaran tinggi saat menunaikan tugasnya,  sebab kemampuan siswa tentu beragam.  Seorang guru yang berkarakter,  tidak akan meninggalkan muridnya yang kurang cepat menerima pelajaran.  Ia akan senantiasa membimbing dan mengarahkan serta memotivasi agar peserta didiknya bisa mengejar ketertingalan.

Terakhir,  perilaku guru hendaklah mencerminkan seorang pendidik yang patut digugu dan ditiru. Segala yang dilakukan guru haruslah konsisten dengan yang diucapkannya. Ia harus bisa melakukan sesuatu yang diajarkan. Ketika mengajarkan kedisiplinan, ia juga seharusnya bisa menjadi contoh untuk perilaku disiplin. Saat mengajarkan tanggungjawab, ia juga harus menunjukkan pribadi yang bertanggungjawab atas tugas yang diembannya.

Agar terwujud siswa yang berkarakter,  hendaknya para guru bukan hanya menggembar-gemborkan pentingnya pendidikan karakter semata,  tetapi juga mendukung terciptanya pendidik yang berkarakter. Sebab, selama pendidikan karakter hanya ditujukan kepada para siswa dan mengabaikan peran karakter pendidiknya,  kekhawatiran Bung Karno bahwa bangsa ini hanya akan menjadi bangsa kuli akan menjadi sebuah keniscayaan. 

Ditulis oleh: Fithriyah,  M.Pd.
Guru SMAN 1 Plemahan-Kediri


Pembuatan Mading Prasapa (PMR Wira SMAPA) sebagai Sarana untuk Mengkomunikasikan Kegiatan Ekstrakurikuler PMR Wira SMAPA kepada Warga Sekolah

“Pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-ting...